Sepanjang 2021 Terjadi 207 Konflik Agraria, Biangnya Negara dan Swasta

Berita Orbit, Jakarta – Konflik agraria adalah situasi saat ada pertentangan klaim antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh kebijakan/keputusan pejabat publik. Komisi Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, secara struktural konflik agrarian adalah manifestasi dari perampasan tanah masyarakat oleh badan usaha negara atau swasta yang difasilitasi oleh hukum dan disetir oleh modal.

Berdasarkan Laporan Tahunan KPA, sepanjang tahun 2021 telah terjadi 207 letusan konflik agraria yang berdampak terhadap 198.895 keluarga di 32 provinsi dan total tanah yang diperjuangkan seluas 500.062,58 hektare.

“Jika diakumulasi, selama  dua tahun pandemi (2020-2021), telah terjadi 448 kejadian konflik di 902 kampung dan desa di Indonesia. Bila dirata-rata, terjadi 18 konflik setiap bulannya,” demikian tertulis dalam laporan KPA.

“Dua tahun krisis pandemi tidak menghentikan praktik perampasan tanah di lapangan. Bahkan pandemi menjadi alasan pemerintah memperluas ekspansi bisnis dan pembangunan berbasis sumber-sumber agrarian dengan dalih pemulihan ekonomi. Hasilnya, masyarakat di wilayah-wilayah konflik terus menghadapi ancaman berlapis, terancam virus pandemi, lalu terancam digusur negara”.

Lonjakan terjadi dari sisi jumlah warga yang menjadi korban. Pada 2020, sebanyak 135.337 KK menjadi korban sementara tahun 2021 terdapat 198.859 KK menjadi korban. Hal ini mengisyaratkan konflik lahan kini terjadi di area-area yang sudah dimukimi, dikelola, dan diusahakan oleh masyarakat.

Di Sektor Mana Saja Konflik Agraria 2021 Banyak Terjadi?

Dari 207 konflik lahan yang terjadi tahun lalu, paling banyak ialah konflik lahan di sektor perkebunan dengan total 74 kejadian dan luas lahan yang diperebutkan 276.162,95 hektare dan berdampak pada 23.531 KK.

Baca Juga  Indonesia Bakal Ekspor 1 Juta Ton Sawit ke Cina

Kemudian konflik lahan pada pembangunan infrastruktur terdapat 52 kejadian konflik dengan luas lahan yang diperebutkan seluas 8.604,69 hektare dan berdampak pada 3.648 kepala keluarga.

Konflik lahan pada sektor pertambangan terjadi 30 kejadian dengan luas lahan diperebutkan 155.166,86 hektare dan berdampak pada 161.136 KK

Selanjutnya, sektor property menyumbang 20 kejadian konflik lahan dengan luas yang diperebutkan ialah 8.558 hektare yang dipempati oleh 1.200 KK;

Sektor kehutanan menyumbang 17 kejadian dengan totallahan yang diperebutkan 45.087,98 hektare dan berdampak pada 4.601 KK; sektor pesisir dan pulau kecil menyumbang 7 kejadian konflik lahan dengan luas lahan yang diperebutkan 3.709 hektare dan berdampak pada 4.260 kepala keluarga.

Sektor fasilitas militer mengakibatkan 4 kejadian konflik lahan dengan luas lahan diperebutkan 1.837 hektare dan berdampak pada 439 KK; dan sektor bisnis mengakibatkan 3 kejadian konflik lahan dengan luas lahan diperebutkan 935,5 hektare dan berdampak pada 80 KK

Konflik Agraria Di Perkebunan : Paling Banyak Terjadi Di Kebun Sawit

Konflik agraria di Indonesia didominasi di sektor perkebunan dengan 74 kejadian. Dari jumlah itu, perkebunan kelapa sawit menjadi sektor utama penyebab konflik lahan. Sebanyak 59 kejadian (80 persen) konflik lahan di sektor perkebunan terjadi di perkebunan sawit.

Diduga, konflik lahan di sektor perkebunan banyak terjadi karena ulah mafia tanah yang menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) di atas tanah yang sudah dikuasai bahkan dimiliki warga sehingga terjadi tumpeng tindih klaim, dan akhirnya perusahaan menggunakan kekuatan paksa untuk menyingkirkan warga.

Baca Juga  Cek Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sebelum Beraktivitas

“Pejabat pemerintah dan aparat di lapangan bersekongkol dengan perusahaan untuk menerbitkan HGU di atas tanah-tanah yang telah dikuasai bahkan dimiliki masyarakat. Modus semacam ini melahirkan tumpang tindih klaim antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Tidak hanya itu, bahkan hingga penyingkiran masyarakat setempat yang sebelumnya telah mengantongi sertifikat hak milik menjadi pihak yang dituduh illegal,” demikian laporan KPA.

Lebih lanjut, berdasarkan pantauan KPA, dari perusahaan-perusahaan lokal yang menjadi pelaku perampasan tanah masyarakat, sebagian besarnya terafiliasi dengan korporasi-korporasi besar. Sebagiannya lagi merupakan badan usaha milik negara.

Sebanyak 15 (20,3 persen) kasus konflik agrarian di sektor perkebunan didalangi oleh perusahaan BUMN seperti PT Perkebunan Negara (PTPN), dan 59 konflik (79,7 persen) melibatkan perusahaan swasta.

Konflik Agraria di Infrastruktur : Berkedok PSN

Pembangunan infrastruktur menyumbang 52 konflik lahan pada 2021, dari jumlah itu 38 kasus berkaitan dengan infrastruktur bertitel “Proyek Strategis Nasional” (PSN). Pada 2020, hanya ada 17 kasus terkait dengan PSN tapi tahun ini melonjak lebih dari 2 kali lipat menjadi 38 kasus.

Lebih rinci, proyek jalan tol menyumbang 16 kasus konflik lahan, pembangunan pembangkit listrik menyumbang 8 kasus konflik lahan, pembangunan bandara menyumbang 7 kasus konflik lahan, dan pembangunan bendungan menyumbang 4 kasus konflik agraria.

Infrastruktur pariwisata, waduk, dan kereta api masing-masing menyumbang 3 kasus konflik agrarian; pembangunan pelabuhan menyumbang 2 kasus konflik agrria; dan pembangunan jalan umum, bandara antariksa, saluran air minum, dan sirkuit masing-masing menyumbang 1 kasus konflik agraria.

Baca Juga  Indonesia Bakal Punya PLTS Terbesar di Dunia

Jika digabungkan konflik agraria akibat PSN di sektor infrastruktur dengan sektor properti maka pelaksanaan PSN di tahun ini telah menyebabkan 40 kejadian konflik agraria seluas 11.466,923 ha. Jika dikaitkan dengan target luasan pengadaan tanah yang dibutuhkan pemerintah untuk menjalankan PSN di tahun 2021, maka luasan wilayah konflik tersebut mencapai 49, 8% dari total luasan kebutuhan PSN.

Konflik Agraria Di Sektor Pertambangan : Didominasi Pasir

Sepanjang 2021, KPA mencatat terjadi 30 letusan konflik agraria di sektor pertambangan. Kendati jumlahnya hanya menempati posisi ketiga teratas, tapi yang harus dikhawatirkan adalah kenaikannya. Pada tahun 2020 hanya ada 12 kejadian konflik agraria di sektor pertambangan, artinya tahun ini konflik lahan di sektor pertambangan melonjak 167 persen.

Demikian pun dari sisi korban. Pada 2020, 10.466 KK terdampak konflik lahan dengan perusahaan pertambangan tapi tahun ini melonjak jadi 161.136 KK terdampak.

Menurut KPA, lonjakan ini terjadi salah satunya disebabkan disahkannya revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang memberikan keistimewaan berganda bagi pelaku pertambangan.

Dari total 30 letusan konflik agraria, sebanyak 7 kasus terkait dengan penambangan pasir; sebanyak 6 kasus terkait dengan penambangan batubara dan emas; sebanyak 3 kasus terkait penambangan nikel dan timah.

Selanjutnya, 2 kasus terkait dengan penambangan batu andesit, dan 1 kasu masing-masing terkait penambangan batu gamping dan pasir besi.

Dari sisi aktor, sebanyak 27 kasus letusan konflik agraria didalangi oleh perusahan swasta dan 3 kasus didalangi oleh perusahaan BUMN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *