Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, memberikan penegasan tegas mengenai kewajiban penerimaan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Indonesia. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap kasus viral seorang nenek yang ditolak saat hendak membayar sepotong roti dengan uang tunai di sebuah toko.
Rupiah Alat Pembayaran Sah, Penolakan Berkonsekuensi Hukum
Said Abdullah menjelaskan bahwa ketentuan mengenai rupiah sebagai alat pembayaran yang sah telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ia menekankan, tidak ada pihak mana pun yang diperkenankan menolak penggunaan mata uang rupiah dalam transaksi jual beli di dalam negeri.
“Sesuai undang-undang, rupiah adalah alat pembayaran yang sah dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, tidak diperkenankan bagi pihak mana pun menolak penggunaan mata uang rupiah di dalam negeri,” ujar Said dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/12/2025).
Lebih lanjut, Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur ini mengingatkan bahwa penolakan pembayaran menggunakan rupiah bukanlah perkara sepele dan memiliki konsekuensi hukum serius. Merchant atau penjual yang terbukti menolak pembayaran tunai dapat dikenai sanksi pidana.
“Bila ada merchant atau penjual menolak pembeli yang membayar memakai rupiah, maka merchant tersebut bisa dikenai sanksi pidana maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp 200 juta,” tegasnya.
Pentingnya Edukasi dan Peran Bank Indonesia
Said menilai bahwa edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha mengenai kewajiban menerima rupiah masih sangat penting. Ia melihat masih banyak pihak yang menganggap remeh penolakan uang tunai, padahal tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum.
“Kita perlu mengedukasi masyarakat agar tidak sembarangan menolak pembayaran memakai rupiah, karena itu bisa berkonsekuensi pidana,” jelasnya.
Ia juga mendorong Bank Indonesia (BI) untuk lebih aktif dalam mengedukasi masyarakat dan pelaku usaha terkait kewajiban menerima rupiah, terutama di tengah berkembangnya tren pembayaran digital.
“Saya berharap Bank Indonesia ikut mengedukasi masyarakat bahwa rupiah tetap menjadi mata uang nasional dan alat pembayaran yang sah. Jangan hanya karena penggunaan layanan pembayaran digital, lalu merchant tidak memberikan opsi pembayaran tunai,” katanya.
Dukungan Digitalisasi, Opsi Tunai Tetap Disediakan
Said menegaskan bahwa hingga saat ini, pemerintah dan DPR belum merevisi aturan terkait pembayaran dengan uang tunai. Oleh karena itu, setiap pihak di Indonesia tetap memiliki kewajiban untuk menerima pembayaran menggunakan rupiah.
Ia mencontohkan praktik di negara maju seperti Singapura, yang meskipun sistem pembayaran non-tunainya sudah berkembang pesat, masih tetap melayani transaksi tunai hingga nominal tertentu. Hal serupa juga terjadi di berbagai negara maju lainnya.
Said menekankan bahwa DPR dan pemerintah tidak melarang penggunaan pembayaran non-tunai dan justru mendukung digitalisasi sistem pembayaran. Namun, ia mengingatkan agar opsi pembayaran tunai tidak dihapuskan dan tetap disediakan.
Pertimbangan ini juga didasarkan pada kondisi Indonesia yang belum sepenuhnya terjangkau layanan internet dan masih rendahnya literasi keuangan di sebagian masyarakat.
“Tidak semua wilayah tercover layanan internet, sehingga tidak semua masyarakat bisa menggunakan pembayaran non-tunai. Di sisi lain, literasi keuangan kita juga masih rendah,” ujarnya.
Untuk itu, Said kembali menekankan peran Bank Indonesia agar lebih tegas kepada pelaku usaha yang menolak pembayaran menggunakan rupiah.
“Saya berharap Bank Indonesia menekankan hal ini kepada para pelaku usaha, dan yang melakukan penolakan terhadap penggunaan mata uang nasional rupiah harus ditindak,” pungkasnya.
Sorotan ini bermula dari kisah viral seorang nenek yang ditolak membayar tunai untuk sepotong roti, memicu keprihatinan publik mengenai hak masyarakat menggunakan uang tunai sebagai alat pembayaran yang sah.






