Berita

Pemprov DKI Jakarta Jawab Penolakan KSPI atas UMP 2026, Sebut Ada Proses Musyawarah

Advertisement

Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Bidang Komunikasi Sosial, Chico Hakim, memberikan tanggapan atas penolakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terkait penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 5.729.876 untuk tahun 2026. Chico menegaskan bahwa keputusan tersebut telah melalui proses musyawarah yang panjang.

UMP DKI Jakarta 2026 Ditetapkan Setelah Musyawarah

Menurut Chico, penetapan UMP DKI Jakarta 2026 yang mengalami kenaikan 6,17% dari tahun sebelumnya ini telah melalui proses di Dewan Pengupahan Provinsi. Proses ini melibatkan perwakilan dari unsur buruh, pengusaha, dan pemerintah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan.

“Kami memahami ada suara penolakan dari sebagian kelompok buruh yang menginginkan kenaikan lebih tinggi. Namun, penetapan ini telah melalui proses musyawarah yang panjang di Dewan Pengupahan Provinsi, melibatkan perwakilan buruh, pengusaha, dan pemerintah, sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan,” ujar Chico kepada wartawan, Sabtu (27/12/2025).

Chico menjelaskan bahwa besaran kenaikan UMP Jakarta merupakan hasil kesepakatan bersama dengan formula yang mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta indeks alfa sebesar 0,75. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan antara daya beli pekerja dan keberlanjutan usaha.

Tiga Insentif Khusus untuk Buruh 2026

Ia juga mengutip pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, pada Senin (22/12/2025) yang menyebutkan bahwa Pemprov DKI Jakarta akan memberikan tiga insentif khusus bagi buruh pada tahun 2026. Insentif tersebut meliputi transportasi, kesehatan, dan kebutuhan air minum yang disediakan oleh PAM Jaya.

“Seperti yang diungkapkan Bapak Gubernur Pramono Anung pada Senin, 22 Desember 2025: Pemprov DKI Jakarta akan memberikan tiga insentif khusus bagi buruh untuk tahun 2026, yakni transportasi, kesehatan, dan kebutuhan air minum dari PAM Jaya,” ucapnya.

Selain itu, Pemprov DKI berkomitmen memperkuat program subsidi bahan pokok melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan program bantuan sosial lainnya. Jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan yang terintegrasi dengan data pekerja juga akan diperluas.

“Pemprov berkomitmen memastikan distribusi ini berjalan transparan dan tepat sasaran, dengan monitoring ketat untuk menghindari penyimpangan,” tambah Chico.

Advertisement

Chico menambahkan, Pemprov DKI akan terus memantau implementasi UMP mulai 1 Januari 2026. “Kami menghargai aspirasi dari kelompok buruh. Pemprov DKI akan tetap memantau implementasi UMP ini mulai 1 Januari 2026. Untuk saat ini, angka tersebut tetap berlaku demi kestabilan ekonomi daerah,” imbuhnya.

KSPI Tolak UMP Jakarta, Nilai Lebih Rendah dari Bekasi dan Karawang

Sebelumnya, KSPI menyatakan penolakan terhadap kenaikan UMP DKI Jakarta menjadi Rp 5.729.876. Serikat buruh mengkritik angka tersebut lebih rendah dibandingkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Bekasi dan Karawang, Jawa Barat.

“Kami menolak. Saya ulangi, KSPI dan Partai Buruh menolak kenaikan upah minimum DKI Jakarta Tahun 2026 yang ditetapkan dengan indeks 0,75 sehingga UMP-nya hanya Rp 5,73 juta,” kata Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, kepada wartawan, Jumat (26/12).

Said Iqbal memaparkan bahwa seluruh aliansi buruh DKI Jakarta telah menyepakati tuntutan agar Gubernur DKI Jakarta menetapkan upah minimum sebesar 100 persen Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut perhitungan Kementerian Ketenagakerjaan, nilai 100 persen KHL adalah Rp 5,89 juta per bulan.

“Apakah masuk akal upah minimum Jakarta lebih rendah dari Bekasi dan Karawang, sementara biaya hidup Jakarta jauh lebih mahal?” tanyanya, menyoroti selisih sekitar Rp 160 ribu dari UMP yang telah ditetapkan.

Said Iqbal juga mengkritisi pernyataan Gubernur DKI Jakarta mengenai tiga insentif (transportasi, air bersih, dan BPJS). Ia menilai insentif tersebut tidak termasuk dalam komponen upah, tidak diterima langsung oleh buruh, dan memiliki kuota terbatas karena bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Buruh di Jakarta lebih dari satu juta orang. Tidak mungkin semua menerima insentif itu. Jadi itu bukan solusi,” tegas Said Iqbal.

Advertisement