Jegal Rusia, PBB Tolak Akui Kemerdekaan Donestk dan Luhansk
Berita Orbit, Jenewa – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan menolak mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk dari Ukraina sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rusia pada Senin 21 Februari 2022. PBB menegaskan tetap mengakui kedaulatan Ukraina atas seutuhnya wilayahnya.
“PBB sejalan dengan resolusi Majelis Umum tetap mendukung penuh kedaulatan kemerdekaan dan kesatuan wilayah Ukraina dengan perbatasan-perbatasannya,” demikian pernyataan tertulis Sekjen PBB Antonio Guterres dalam rilis resminya pada Selasa 22 Februari 2022.
Selain itu, Guterres pun menyatakan keprihatinannya atas pengiriman pasukan Rusia ke wilayah Donestk dan Luhansk. Menurutnya, langkah Rusia itu adalah pelanggaran atas kesatuan wilayah dan kedaulatan Ukraina dan pelanggaran atas prinsip-prinsip piagam PBB.
Ia mengimbau agar masalah di wilayah timur Ukraina diselesaikan secara damai sesuai dengan Perjanjian Minsk yang telah disepakati Ukraina, Rusia, dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) pada 2014 dan 2015 lalu.
Guterres juga mendesak seluruh pihak fokus untuk menarik diri dari permusuhan dan melindungi warga sipil serta infrastruktur. Selain itu, seluruh pihak diminta menahan pernyataan yang menambah ketegangan.
“Sekjen PBB mengimbau penanganan damai terkait kasus di Ukraina Timur sesuai dengan Perjanjian Minsk yang didukung Dewan Keamanan tertuang dalam resolusi 2202 (2015),” lanjutnya.
Rusia Kirim Pasukan Ke Ukraina
Pada Senin 21 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani dekrit mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donestk dan Republik Rakyat Luhansk. Sebagai informasi, dua wilayah itu adalah provinsi di sebelah timur Ukraina dan berbatasan dengan Rusia. Saat ini, dua wilayah itu dikuasai pasukan separatis pro-Rusia dan mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak.
Sebagai tindak lanjut atas pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan tersebut, Putin mengirim pasukan ke dua wilayah Ukraina tersebut. Dilansir dari CNN, ia mengklaim, pengiriman pasukan itu sebagai “misi perdamaian”.
Meski begitu masih belum jelas apakah perintah ini menjadi awal dari invasi yang telah diperingatkan selama berminggu-minggu oleh negara barat. Namun, sejumlah pejabat Amerika Serikat dan negara-negara barat mengatakan perintah ini adalah “tembakan salvo pembuka” atau dengan kata lain akan ada operasi militer yang lebih besar mengarah ke Ukraina.