Pria Katolik Ini Gugat UU Perkawinan Ke MK Demi Nikahi Wanita Muslimah
Berita Orbit – “Semua akan kulakukan untukmu” mungkin hanya gombalan basi bagi sebagian pria. Namun tidak bagi Ramos Petage, seorang pria Katolik dari Mapia Tengah, Dogiyai, Papua. Ia berencana menikahi kekasihnya yang beragama Islam, tetapi terhalang oleh aturan. Untuk mempertahankan cintanya, ia menggugat konstitusionalitas UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pemohon adalah warga negara perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Akan tetapi setelah menjalin hubungan selama 3 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda,” demikan bunyi permohonan Ramos Petage dalam permohonan yang dilansir website MK pada Senin 7 Januari 2022.
Permohonan
Ada tiga poin yang menjadi alasan bagi Ramos menggugat UU Perkawinan, antara lain :
1. Ambiguitas Soal Keabsahan Perkawinan yang Diatur Oleh Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,”.
Menurutnya, pasal mengenai keabsahan perkawinan itu ambigu dan bertentangan dengan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang diatur pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945, dan tidak mampu memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
“Ketentuan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan yang beragam jumlahnya dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan akan tetapi tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda,” kata Ramos.
Ramos merincikan, pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan telah membuka dua ruang penafsiran mengenai nikah beda agama.
Pertama : perkawinan beda agama diperkenankan asalkan mengikutip tata cara yang diatur oleh salah satu hukum agama/kepercayaan yang dianut mempelai, atau perkawinan dilakukan menurut kedua hukum agama/kepercayaan yang dianut. Penafsiran ini sejalan dengan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk beragama dan beribadat.
“Dengan tafsiran demikian maka negara harus mengatur mekanisme pencatatan perkawinan beda agama. Akan tetapi dalam implementasinya, perkawinan beda agama yang demikian sulit dilakukan karena perkawinan dalam norma tersebut menyandarkan kesakralan dan keabsahan perkawinan pada institusi agama,” kata Ramos dalam permohonannya.
“Masalah yang terjadi kemudian ialah banyak institusi agama yang tidak bersedia melangsungkan perkawinan beda agama, termasuk pula adanya penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil”.
Kedua : perkawinan dilangsungkan antara dua orang yang memiliki agama atau kepercayaan yang sama. Namun, jika tafsiran ini digunakan maka artinya negara memaksa warga negaranya untuk melangsungkan perkawinan seagama.
“Negara dalam hal ini tidak berhak untuk mewajibkan masyarakat/orang untuk menikah menurut salah satu agama apalagi negara tidak berhak untuk memaksa orang menikah hanya menurut sejumlah agama yang diakui oleh negara,” kata Ramos.
Pasal 10
(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU HAM tersebut secara jelas menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan adanya kehendak bebas (tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan dari pihak manapun) dari calon pasangan, oleh karena itu, sejatinya perkawinan (beda agama) merupakan bagian dari hak kodrati yang melekat pada diri seseorang yang tidak dapat dipaksakan oleh negara melalui perangkat hukum yang dibentuknya dan terhadap Pasal 2 ayat (1) dalam perkara a quo bahwa perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama untuk menentukan secara bebas akan tunduk pada hukum agama dan kepercayaannya tertentu dalam melangsungkan perkawinannya,” urai Ramos Petage.
Selanjutnya, pasal 8 UU Perkawinan menyatakan : “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”
Ramos mengatakan, rumusan pasal itu multi-tafsir sebab perkawinan dalam konteks Indonesia, melekat pada
berbagai macam kultur, agama, budaya, suku, dan sebagainya. Terkait dengan pernikahan beda agama, masing-masing ahli hukum agama pun memiliki pendapat yang berbeda-beda dan belum bersepakat soal keabsahannya.
“Larangan perkawinan beda agama yang disebabkan karena perbedaan tafsir diantara ahli hukum pada hakikatnya
telah mengurangi kebebasan dan kemerdekaan untuk menganut agama dan kepercayaan tentu dalam melangsungkan perkawinan beda agama yang dijamin berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Ramos.
2. Digadaikannya Hak untuk Memiliki Keimanan dan Menunjukan Ketaqwaan Kepada Tuhan yang Maha Esa demi
Sahnya Perkawinan
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menyatakan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”. Bab penjelasan pasal itu menegaskan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama atau kepercayaan. Dengan demikian, artinya negara memaksa pasangan beda agama untuk melangsungkan perkawinan menurut salah satu agama.
“Ketika adanya intervensi kepada seseorang untuk tunduk kepada suatu ajaran tertentu demi dapatnya seseorang tersebut melangsungkan perkawinan dengan pasangannya tentunya kebebasan memeluk agama dan menjalankan ajarannya serta menentukan sikap berdasarkan hati nurani telah nyata dilanggar melalui ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU a quo,” kata Ramos.
Selain itu, dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan artinya negara telah menyerahkan syarat keabsahan pernikahan seseorang kepada kelompok mayoritas agama tertentu.
“Pada praktiknya hal yang paling sering terjadi dalam perkawinan beda agama di Indonesia adalah adanya salah satu pihak yang menekan pihak lainnya untuk tunduk pada suatu golongan atau ajaran agama tertentu,” kata Ramos.
Selain itu, Ramos mengatakan, dalam hubungan beda agama masing-masing keluarga akan berusaha mempertahankan agama dan adat istiadat yang dianutnya dan berusaha menundukkan agama atau adat istiadat mempelai lainnya. Dengan demikian, ketentuan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan justru mendorong terjadinya perpecahan di antara dua pihak keluarga yang hendak menikah beda agama.
Meminta Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan Diubah
Atas alasan-alasan tersebut, Ramos mengajukan 3 permohonan kepada majelis hakim konstitusi, antara lain :
1. Menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak lagi relevan dalam mengakomodir kebutuhan penegakan Hak Asasi Manusia masyarakat Indonesia seperti yang diamanahkan oleh UUD 1945 khususnya dalam hal kemerdekaan untuk memeluk agama, adanya jaminan terhadap kepastian hukum, kesetaraan serta kesamaan kedudukan dimata hukum dan pemerintah, serta kewenangan individu untuk membentuk keluarga dan memiliki keturunan melalui suatu perkawinan yang sah
3. Menyatakan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan terhadap perkawinan beda agama sehingga perlu menambahkan pengaturannya sebagai berikut:
– Pasal 2 Ayat (1)
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu
– Pasal 2 ayat (2)
Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaannya dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan.
– Pasal 2 ayat (3)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Adapun perkara itu sudah didaftarkan pada Jumat 4 Februari 2022 dan terdaftar dengan nomor 17/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022